Beranda | Artikel
Muhkam Dan Mutasyabih
Selasa, 16 Juli 2013

MUHKAM DAN MUTASYÂBIH

الْقُرْآنُ كُلُّهُ مُحْكَمٌ بِاعْتِبَارٍ، وَكُلُّهُ مُتَشَابِهٌ بِاعْتِبَارٍ، وَبَعْضُهُ مُحْكَمٌ وَبَعْضُهُ مُتَشَابِهٌ بِاعْتِبَارٍ ثَالِثٍ

Dipandang dari satu sisi, al-Qur’ân itu semuanya muhkam; Dari sisi yang lain, semuanya mutasyâbih; Dan dari sisi yang lain, sebagian dari al-Qur’ân itu muhkam, sementara sebagiannya lagi mutasyâbih.

Pembahasan tentang muhkam dan mutasyâbih ini sangat penting. Karena betapa banyak orang yang tersesat akibat salah memahami kalâmullâh, tidak bisa membedakan antara yang muhkam dan mutasyâbih atau salah dalam menyikapi keduanya.

Muhkam dan mutasyâbih termasuk diantara sifat yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan untuk al-Qur’ân. Keduanya memiliki makna yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya.

a. Al-Qur’an, semuanya muhkam
Allâh Azza wa Jalla berfirman.

الر ۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

Alif lâm râ, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya muhkam (disusun dengan rapi) serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allâh) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu, [Hûd/11:1]

Dengan gamblang, disebutkan dalam ayat diatas bahwa semua ayatnya muhkam. Jadi muhkam merupakan sifat bagi al-Qur’ân secara keseluruhan. Inilah yang dinamakan oleh para Ulama dengan ihkâmun ‘âm. Muhkam disini maksudnya adalah al-Qur’ân itu sangat sempurna dan tertata dengan susunan yang paling rapi. Semua berita yang terkandung dalam al-Qur’ân adalah benar, tidak ada kontra sama sekali. Perintah-perintah yang termaktub dalam al-Qur’ân, semua mendatangkan kebaikan dan barakah. Sebaliknya, semua larangan yang disebutkan dalam al-Qur’ân tidak ada yang terlepas dari keburukan, bahaya dan prilaku yang hina. Inilah yang dinamakan ihkâm ‘âm.

b. Al-Qur’ân, semuanya mutasyâbih
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Allâh telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allâh. [az-Zumar/39:23]

Mutasyâbih, sifat yang disematkan pada al-Qur’ân pada ayat di atas dinamakan tasyâbuh (serupa) ‘am. Maksudnya, semua ayat yang terkandung dalam al-Qur’ân serupa atau sama dalam masalah keindahan, kebenaran, kandungannya terhadap nilai-nilai luhur yang mampu membersihkan akal manusia, menyucikan hati dan memperbaiki kondisi. Jadi untaian kalimatnya adalah untaian kalimat terbaik serta kandungannya adalah kandungan terbaik. Inilah maksud tasyâbuh ‘am.

c. Al-Qur’ân, sebagiannya muhkam dan sebagiannya lagi mutasyâbih
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

Dia-lah yang menurunkan al-Qur’ân kepada kamu. di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât. Itulah pokok-pokok al-Qur’ân dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. [Ali Imrân/3:7]

Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sebagian dari ayat-ayat al-Qur’ân itu muhkam dan sebagiannya lagi mutasyâbihat. Muhkam dan mutasyâbih yang termaktub dalam ayat diatas bukan muhkam dan mutsyabih yang sudah dijelaskan maknanya di atas.

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan bahwa dalam al-Qur’ân ada ayat-ayat yang muhkam. Ayat-ayat ini merupakan ummul kitab (pokok-pokok Kitab). (Muhkam) maksudnya adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak ada kekurangjelasan sama sekali bagi semua orang dalam ayat-ayat tersebut. Dan ada sebagian lagi ayat-ayat yang kurang jelas maknanya bagi mayoritas atau sebagian orang. Barangsiapa mengembalikan makna (ayat) yang belum jelas kepada (ayat) yang jelas maknanya dan menjadikan (ayat) yang jelas maknanya sebagai hakim bagi (ayat) yang belum jelas baginya, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Berangsiapa yang melakukan kebalikannya, berarti dia terbalik (tersesat).[1]

Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-sa’diy rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu (yang memahami) al-Qur’ân, mereka mengembalikan makna ayat-ayat kurang jelas kepada ayat-ayat yang maknanya jelas, sehingga semuanya menjadi jelas. Dan mereka juga mengatakan, “Semua ayat-ayat itu datang dari Rabb kami.” Makusdnya semua yang datang dari Rabb tidak yang bertentangan. Makna yang belum jelas pada satu tempat, telah dijelaskan pada tempat lain sehingga (semua) terpahami dan problem dalam memahaminya telah sirna.

Diantara contohnya yaitu pemberitahuan Allâh Azza wa Jalla bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, segala yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi. Allâh Azza wa Jalla (memberitahukan), Dia memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya.

Jika makna-makna ini tidak terpahami dengan baik oleh orang yang mengira bahwa ini bertentangan dengan nilai keadilan atau mengira bahwa penganugerahan hidayah dan penyesatan itu begitu saja tanpa sebab, maka ketidakjelassan ini telah dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa semua itu ada sebabnya. Dan sebab itu dilakukan oleh manusia. Seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ

Dengan Kitab itulah, Allâh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, [al-Mâidah/5:16]

Juga firman-Nya :

فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

Sebagian diberi petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allâh, [al-A’râf/7:30]

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka. [as-Shaf/61:5]

Jika ini masih mutasyâbih (tidak terpahami dengan baik) oleh golongan Jabriyah yang memandang bahwa manusia itu dipaksa atau dikendalikan seperti robot, maka Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam banyak ayat bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak memaksa manusia. Dan Allâh Azza wa Jalla jelaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu berdasarkan pilihan dan kemampuan mereka.

Jika ini masih mustabihat (tidak terpahami dengan baik) oleh golongan Qadariyah yang memandang bahwa usaha manusia itu murni dari mereka tanpa ada kehendak dan takdir dari Allâh Azza wa Jalla , maka bacakanlah kepada mereka ayat-ayat yeng menerangkan tentang kekuasaan Allâh Azza wa Jalla yang meliputi segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali setelah Allâh Azza wa Jalla menghendakinya.

Dan kita katakan kepada Jabriyah dan Qadariyah, bahwa semua itu merupakan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla yang haq yang wajib diimani oleh kaum Muslimin.

Kesimpulannya, ayat yang masih mujmal (global) atau belum jelas maknanya pada satu tempat, maka di tempat lain ayat tersebut telah dijelaskan, sehingga menjadi jelas maknanya.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3671-muhkam-dan-mutasyabih.html